Rabu, 15 Desember 2010

DIKLAT KEWIRAUSAHAAN


KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN PEMERINTAH KABUPATEN AKARAWANG MELALUI
PROGRAM DIKLAT KEWIRAUSAHAAN DAN BANTUAN MODAL PASKA DIKLAT


A. Latar Belakang

Mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita, ketika mendengar Kemiskina dan Pengangguran. Dari zaman penjajahan sampai sekarang, Kemiskinan dan Pengangguran belum dapat terselesaikan secara konperhensip, apa lagi paska krisis moneter, jumlah orang miskin dan pengangguran semakin banyak. Pertanyaannya kenapa Kemiskinan dan Pengangguran masih tumbuh suber di negara tercinta ini, padahal kita tahu bahwa Cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah berkehidupan kebangsaan yang bebas, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Berkaitan dengan hal tersebut, disusunlah Tujuan Nasional dari pembentukan pemerintahan, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Pertanyaan diatas tidak dimaksudkan untuk mencari apa yang salah atau siapa yang salah, namun untuk mengingatkan bahwa kita Bangsa Indonesia mempunyai cita-cita yang mulia, yang setiap warga Negara berkewajiban menjelmakan cita-cita dimaksud, yaitu terciptanya masyarakata yang Adil dan Makmur.

Kemerdekaan yang telah direbut dengan susah payah, dan sekarang sudah dapat kita raih harus dijaga dan diisi dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis serta dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional serta memberikan arah bagi pelaksanaan pembangunan agar dapat berjalan dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan sasarannya, maka diperlukan adanya kebijakan yang mampu merealisasikan cita-cita dan tujuan tersebut.

Hal yang paling penting dan harus kita pikirkan dan kita kerjakan bersama adalah mencari akar masalah Kemiskinan dan Pengangguran. Dari akar masalahnya kita dapat mengurai berbagai persoalan yang rumit sehingga ditemukan pemecahan masalahnya.

Hakekat pembangunan merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, menempatkan arah pandang pembangunan sangat didasarkan pada paradigma yang mendasari para pengambil kebijakan di suatu negara untuk diimplementasikan. Perkembangan pembangunan di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh teori pertumbuhan ekonomi yang memiliki resiko pada kesenjangan pembangunan baik antar daerah, maupun antara si kaya dan si miskin. Untuk itu, dalam suatu pembangunan maka dampak negatif baik itu berupa kemiskinan maupun pengangguran merupakan faktor yang harus diselesaikan melalui skema pembangunan, bukan menjadi bagian terpisah dari pembangunan itu sendi

Jika dilihat dari perkembangan pembangunan di Indonesia pada awal 1970-an dan 1980-an maka fungsi ”negara pembangunan" (developmental state) merupakan pilihan model pembangunan yang dilaksanakan pada saat itu. Pembangunan dengan mengedepakna pertumbuhan ekonomi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan sosial dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu. Dampak yang muncul dengan model tersebut semakin tinginnya disparitas hasil pembangunan, karena asumsi adanya trickle down effect ternyata tidak berjalan dengan sempurna. Pada pertengahan 1980-an hingga 2000-an, ciri-ciri negara pembangunan mulai bergeser menjadi negara minimalis, peran negara dalam ekonomi ditarik, dikurangi, atau dihapuskan. Kuatnya liberalisasi di banyak bidang menjadikan pasar bebas dianggap sebagai mekanisme dan kelembagaan sempurna yang dapat mengoreksi diri sendiri. Privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi menjadi kata-kata kunci dalam melakukan swastanisasi sektor-sektor pelayanan publik seperti di sektor perbankan, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan. Akibatnya, dampak negatif dari pembangunan yang terjadi pada model sebelumnya semakin bertambah banyak keluarga Indonesia jatuh miskin, sekolah menjadi mahal, kesehatan sulit dijangkau, dan lapangan kerja lebih kecil ketimbang jumlah pencari kerja.

Hal ini ditunjukan dengan masih berkutat dengan tingginya angka kemiskinan. Permasalahan kemiskinan menjadi problem sosial yang hingga saat ini belum dapat terpecahkan bagaikan lingkaran setan. Hasil data BPS tahun 2006 menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung mengalami kenaikan setiap periode, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta jiwa dari angka kemiskinan pada Maret 2005 sebesar 35,1 juta (15,97%). Dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan maka permasalahan sosial lainnya sebagai dampak kemiskinan juga bertambah, seperti: masalah lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya angka kriminalitas, berkembangnya konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan makin rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Di samping angka kemiskinan yang disampaikan oleh BPS maka dilihat dari Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2006 yang menggunakan data tahun 2002, Indonesia hanya menempati urutan ke-108 dari 177 negara, hal ini berimplikasi pada produktivitas manusia yang rendah yang pada tahun 2006 berada di peringkat ke-60 dari 61 negara pada tahun 2006 dalam World Competitiveness Year Book.

Akan tetapi, permasalahan kemiskinan dan pengangguran sebagai dampak pembangunan merupakan masalah bersama seluruh elemen anak bangsa yang harus segera ditangani. Oleh karenanya, upaya untuk tidak lagi mengandalkan sumber daya alam semata, tetapi melalui peningkatan peran manusia dalam pembangunan menduduki fungsi vital strategis. Apalagi di era otonomi daerah saat ini sebagian langkah tersebut berada di tangan pemerintah daerah. Peran daerah akan semakin dominan dan strategis dalam proses pembangunan nasional.

B. Amanat Nasional dan Internasional Dalam Penanggulangan Kemiskinan.
Pada Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari Pembukaan UUD 1945 tersebut, menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas didirikannya Negara Indonesia.

Hal tersebut sejalan dengan upaya bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk ikut berpatisipasi dalam upaya penghapusan kemiskinan yang merupakan tantangan global terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini. Hal tersebut telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York tahun 2000 yang menetapkan upaya mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals) yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan tersebut dilaksanakan melalui 8 jalur sasaran yang meliputi :

- Memberantas kemiskinan dan kelaparan
- Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
- Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
- Menurunkan angka kematian anak
- Meningkatkan kesehatan ibu
- Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain
- Menjamin kelestarian lingkungan hidup
- Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

Komitmen atas sasaran dan target tersebut disepakati juga oleh pemerintah Indoensia yang ikut menandatangani dokumen Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan, yang juga telah ditanda-tangani oleh Presiden RI, untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002. Dengan demikian, konsensus bangsa Indonesia dan maupun komitmen internasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Faktor tersebut membutuhkan peran emerintah dan semua perangkat negara bersama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus pengentasan kemiskinan paling lambat tahun 2015.

Untuk itu, melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, yang diharapkan dapat:

(a)
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan nasional,
(b)
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah,
(c)
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan,
(d)
menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan, dan
(e)
mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Disamping Undang-Undang tersebut, kebijakan presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009 mencantumkan tiga agenda pembangunan nasional kita, yaitu agenda menciptakan Indonesia yang aman dan damai; agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; dan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Agenda nasional tersebut, yang diharapkan dapat diwujudkan di seluruh daerah, melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Terkait dengan hal tersebut, maka upaya menurunkan kemiskinan telah diluncurkan oleh pemerintah pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) sehingga tumpang tindih kegiatan pemerintah dapat dihindari dan akhirnya dampak pengeluaran pemerintah terhadap penurunan kemiskinan dapat dimaksimalkan. Dalam program PNPM seperti yang telah dimulai beberapa tahun terakhir, Pemerintah Pusat melakukan kemitraan dengan Pemerintah Daerah. Pola yang serupa akan ditingkatkan lagi dalam tahun 2008. Harapannya disamping memperbaiki proses perencanaan daerah (bottom up planning), program kemitraan ini akan memberikan saluran yang terarah bagi pemerintah daerah yang hingga kini masih mengalami kesulitan melakukan pengeluaran pemerintah secara terarah.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) adalah program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran yang berbasis pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi bahwa masih terdapat kesenjangan antara pencapaian dan sasaran dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, yaitu angka kemiskinan dan pengangguran yang masih cukup besar. Pemerintah menargetkan langkah untuk menurunkan kemiskinan hingga tahun 2009 sebesar 8,2 % dan menurunkan tingkat pengangguran hingga 5,1 %.
Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran adalah dengan meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. Program ini adalah merupakan tindak lanjut dari apa yang telah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 2006 dan telah diluncurkan secara resmi oleh Presiden pada tanggal 30 April 2007 di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah,

PNPM Mandiri merupakan integrasi dan perluasan program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis masyarakat yang sudah dan sedang berjalan. Integrasi dilakukan dengan menggabungkan program yang telah terbukti efektif, pada tahun 2007 melalui Program Pengembangan Kecamatan di wilayah perdesaan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal PMD Depdagri dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di wilayah perkotaan yang dikelola oleh Ditjen Cipta Karya Departemen PU. Selanjutnya, pada tahun-tahun berikutnya akan ditingkatkan ke seluruh program penanggulangan kemiskinan yang berbasis masyarakat.

C.              Diagnosa Kemiskinan dan pengangguran.
Untuk mempermudah melakukan diagnosa, hal paling sederhana adalah mengetahui penyebab kenapa mereka miskin. Jawaban yang paling mungkin adalah: Karena tidak mempunyai pendapatan (penghasilan) yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau kita melanjutkan pertanyaan berikutnya, kenapa mereka tidak mempunyai pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka jawabannya menjadi sangat komplek, mungkin karena dia tidak punya pekerjaan (nganggur), mungkin upah kerjanya minim, mungkin pekerjaannya tidak tetap, mungkin tidak punya modal usaha, mungkin tidak punya keterampilan usaha, mungkin pemalas, mungkin dan mungkin-mungkin lainnya. Dari berbagai kemungkinan yang bisa kita lakukan hanya satu, yaitu memberi harapan untuk melakukan perubahan dari cara berpikir tidak bisa menjadi cara berpikir bisa, dari cara berbipikir tidak mungkin menjadi cara berpikir serba mungkin. Perubahan pola berpikir, akan mengakibatkan perubahan pola bertindak dan berprilaku.

D. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan Dan Perluasan Lapangan Kerja

D.1. Konsep Kemiskinan dan Pengangguran
Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, aset dan peluang penting yang menjadi hak setiap orang. Setiap orang harus bebas dari rasa lapar, harus dapat hidup dalam damai, dan harus mempunyai akses untuk mendapatkan pendidikan dasar dan jasa-jasa layanan kesehatan primer. Keluarga-keluarga miskin butuh mempertahankan kelangsungan hidup mereka dengan cara bekerja dan mendapatkan imbalan secara wajar serta seharusnya mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan terhadap guncangan-guncangan dari luar. Sebagai tambahan, perorangan maupun masyarakat juga miskin dan cenderung terus miskin apabila mereka tidak diberdayakan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.

Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, dibutuhkan perubahan paradigma pembangunan dari top down menjadi bottom up, dengan memberi peran masyarakat sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai fasilitator. Proses bottom up akan memberi ruang bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam merencanakan, menentukan kebutuhan, mengambil keputusan, melaksanakan, hingga mengevaluasi pembangunan.

Kondisi ini akan terlihat jika menempatkan kaum miskin dalam posisi terhormat, memberi ruang pada mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal, sehingga konsep kaum miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan dibicarakan dalam konsep pembangunan manusia. Ada beberapa dimensi terkait pengertian kemiskinan, baik yang melihat dari dimensi kesejahteraan material, maupun kesejateraan sosial. Konsep yang menempatkan kemiskinan dibagi dalam dua jenis, seperti yang disampaikan Suwondo (1982:2) bahwa kemiskinan terbagai menjadi kemiskinan mutlak (absolute proverty) yaitu: individu atau kelompok yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan kebutuhan fisik minimumnya, dan kemiskinan relatif (relative proverty) yaitu menekankan ketidaksamaan kesempatan dan kemampuan diantara lapisan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan dalam menikmati kehidupannya. Pengertian kemiskinan yang lebih luas disampaikan oleh John Friedman (Ala, 1996:4) yang menyatakan bahwa kemiskinan sebagai ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuasaaan sosial, yaitu kemampuan untuk menguasai peluang strategis yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Dari pengertian kemiskinan tersebut maka berbagai faktor yang menyebabkan kemiskinan juga secara umum lebih banyak disebabkan oleh faktor alamiah dimana kondisi alam dan wilayahnya tidak mampu mendukung kehidupan warganya, serta faktor struktural dimana kemiskinan yang timbul dari bentukan karena struktur masyarakatnya yang penuh ketidakadilan. Sementara itu, Arif Budiman (2000: 289) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu: kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan sebagai akibat karakter budaya serta etos kerja yang rendah, dan kemiskinan struktural yaitu akibat dari struktur yang timpang. Dalam hal ini, faktor penyebab kemiskinan terutama kemiskinan struktural lebih banyak menjadi bahan kajian dibandingkan faktor alamiah. Padahal jika dilihat perkembangan teknologi saat ini, kajian terhadap faktor alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan rekayasa alam untuk menjadi wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakatnya. Sementara itu, kajian terkait kemiskinan struktural oleh Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: 8) dikemukakan bahwa kemiskinan struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga karena kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.

Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak diperlukan ukuran yang tepat dan berlaku umum. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan penilaian tentang batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan menjadi sangat normatif. Terkait dengan pelaksanaan PNPM Mandiri, ada beberapa ukuran yang mendekati seperti yang disampaikan oleh Emil Salim (1984:42-43) bahwa ada lima ciri kemiskinan yang meliputi: 1) tidak memiliki faktor produksi, 2) tingkat pendidikan rendah, 3) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 4) kebanyakan tinggal di desa, dan 5) banyak hidup di kota berusia muda dan tanpa skill.

Untuk itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam arah kebijakan pembangunan sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Hal ini disampaikan Sri Mulyani (Soetrisno ed. 1995:2) menegaskan bahwa kebijakan yang mampu menjawab masalah kemiskinan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan adalah dengan membuka kemungkinan golongan miskin untuk berpartisipasi dalam proses pertumbuhan itu sendiri. Dengan adanya kebijakan tersebut maka upaya untuk meningkatkan akses penduduk miskin agar dapat memperoleh, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya yang tersedia.

Sebagai salah satu langkah penanggulan kemiskinan maka proses partisipasi masyarakat paling tidak ada tiga tahapan mulai dari perencanaan, pelaksaanaan, dan pemanfaatan. Keterlibatan tersebut dapat dilihat dari: keterlibatan mental dan emosi, kesediaan memberi sumbangan/atau sukarela membantu, dan adanya tanggung jawab. Untuk itu, Y. Slamet (1993:3) memberi pengertian bahwa sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, a) di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan, b) pelaksanaan program-program atau proyek secara sukarela, dan c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau suatu proyek.

D.2. Keterkaitan Antara Kemiskinan dan Pengangguran
Dari definisi kemiskinan tersebut maka untuk mengindentikan bahwa masyarakat dikatakan miskin berarti pengangguran tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan pengangguran merupakan situasi yang disebabkan oleh faktor orang-orang yang bekerja di bawah kapasitas optimalnya (pengangguran terselebung), dan faktor orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapat lapangan pekerjaan sama sekali (pengangguran penuh). Untuk itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melakukan distribusi pendapatan melalui pencipataan lapangan kerja berupah memadai bagi kelompok-kelompok masyarakat yang miskin.

Dengan adanya upaya perluasan lapangan kerja maka perlu mendapat dukungan dari berbagai tindakan kebijakan dan regulasi baik di bidang ekonomi maupun sosial yang berjangkauan lebih jauh lagi. Oleh karena itu, masalah ketanaga kerjaan harus senantiasa diperhitungkan sebagai salah satu unsur utama dalam setiap perumusan strategi pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada usaha penanggulangan kemiskinan.

Untuk itu, partisipasi hanya dimungkinkan berjalan dengan baik, bila berangkat dari kesadaran dan prakarsa aktif masyarakat. Kesadaran dan prakarsa ini akan muncul bila masyarakat memiliki daya dan posisi tawar yang tinggi dalam mengakses, mengelola, dan mendayagunakan sumberdaya disekitarnya secara optimal. Partisipasi hanya mungkin terjadi bila terdapat keseimbangan antara daya /posisi tawar masyarakat yang diharapkan menjadi aktor utama utama pembanguan dan pemerintah. Dalam konteks ini, pemberdayaan (empowerment) menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi aktif bukan hanya dimobilisasi.

D.3. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat -khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan- didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Namun demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus menerus, proses partisipatif dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama.

Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas dan efesiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang makin langka. Program-program pemerintah yang berbasis pemberdayaan seperti PPK telah memberi banyak pengalaman dalam menekan biaya untuk suatu pekerjaan dengan kualitas yang sama yang dikerjakan program non pemberdayaan. Pendekatan ini akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan pemerintah.

Pemberdayaan didefinisikan sebagai membantu masyakat agar mampu membantu diri mereka sendiri (help people to help themselves). Pemberdayaan dilakukan dengan memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Pemberdayaan dalam arti yang sebenarnya tidak sebatas memberikan input materi atau bantuan dana namun memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat secara luas untuk mengakses sumberdaya dan mendayagunakannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok, yakni:

a.
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
b.
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
c.
memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.

Pemberdayaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat dengan meningkatkan kapasitasnya. Setidaknya ada tiga kapasitas dasar yang dibutuhkan untuk itu, yakni:

Pertama: suara (voice), akses, dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pertama, suara adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri.

Dalam konteks perencanaan pembangunan partisipatif, maka suara dapat disampaikan oleh masyarakat melalui musyawarah-musyawarah perencanaan pembangunan. Di sini lah masyarakat dapat mengusulkan ide pembangunan yang berangkat dari kebutuhan riil mereka, menyusun prioritas, dan mengambil keputusan pembangunan. Namun demikian sistem pembangunan dengan paradigma top down di masa lalu telah mereduksi kapasitas tersebut, sehingga masyarakat merasa sungkan atau tidak berani mengemukakan gagasannya dalam forum resmi meskipun diberi kesempatan. Di sini diperlukan sebuah proses pembelajaran melalui fasilitasi, motivasi, edukasi, dan advokasi secara terus menurus untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat dan meningkatkan kemampuannya dalam menyampaikan aspirasi secara jelas dan sistematis berbasis kebutuhan.

Kedua, akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola sumberdaya publik termasuk dalam pelayanan publik. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan.

Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya, kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat sudah lama berada dalam konteks penindasan berantai: yang atas menindas yang bawah, sementara yang paling bawah saling menindas ke samping. Artinya kontrol eksternal digunakan masyarakat untuk melawan eksploitasi dari atas, sementara self-control dimaksudkan untuk menghindari mata rantai penindasan sesama masyarakat, seraya hendak membangun tanggungjawab sosial, komitmen dan kompetensi warga terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

E.               PERUMUSAN MASALAH
Kemiskinan dan Pengangguran adalah penyakit kronis yang menahun, diperlukan penanganan dan penanggulangan yang terencana, terukur dan terarah.

Perencanaan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran dimulai dari perubahan cara berpikir, cara memandang (melihat) suatu masalah, melalui pendidikan dan cara bertindak melalui latihan. Pendidikan dan latihan (DIKLAT) dimaknai sebagai sarana untuk terjadinya perubahan cara berpikir, cara memandang, dan cara bertindak, untuk selanjutnya hasil pelatihan dimaksud, diimplementasikan dalam bentuk kegiatan nyata, yaitu usaha memperbaiki diri, melalui penambahana wawasan pengetahuan dan keterampilan.

Apabila wawasan dan pengetahuan serta keterampilannya memadai, maka dengan sendirinya status pengangguran yang disandangnya akan berganti menjadi orang yang berkreatif atau yang kita kenal Entrepreneurship. Apabila sudah terbentuk jiwa Entrepreneurship, maka pada gilirannya akan menjelma menjadi Intrapreneurship (Wira usahawan) maka status miskin akan berubah menjadi mapan.

F. Pengalaman Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan
Di Indonesia trend pembangunan partisipatif yang berdampak positif terhadap masyarakat mulai banyak digunakan pada tahun 1994, dimana banyak program atau proyek pemberdayaan masyarakat diluncurkan masing-masing sektor, seperti: IDT, PKT, P3DT, P4K, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan banyak kerancuan maupun kebingungan karena masing-masing program memiliki nama dan ukuran yang berbeda-beda. Ada beberapa sebab yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, yang diantaranya meliputi:

a)
setiap program penanggulangan kemiskinan memiliki mekanisme perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan sendiri-sendiri,
b)
setiap lembaga donor memiliki nama program sendiri-sendiri dengan model pendekatan yang juga berbeda,
c)
setiap Departemen/LPND memiliki nama program sendiri-sendiri dengan model pendekatan yang juga berbeda. Kondisi ini menibulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifnya program-program pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh: pada Tahun 2005, 42 program penanggulangan Kemiskinan dilaksanakan oleh 17 lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen. Hal ini yang dicoba untuk harmonisasikan dan dintegrasikan dalam satu wadah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Walaupun demikian, atas dasar kenyataan tersebut muncul beberapa model pembangunan yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan pengelolaan partisipatif. Beberapa model program pemberdayaan masyarakat tersebut memiliki keunggulan yaitu:

1)
Meningkatnya kemampuan masyarakat dan pemerintah lokal dalam pengelolaan kegiatan pembangunan desa/kelurahan;
2)
Partisipasi dan swadaya masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan cukup tinggi;
3)
Hasil dan dampaknya, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan cukup nyata;
4)
Biaya kegiatan pembangunan relatif lebih murah dibandingkan jika dilaksanakan oleh pihak lain;
5)
Masyarakat terlibat secara penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian;
6)
Keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangannya cukup kuat.

Di samping keunggulan-keunggulan di atas, pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah juga memiliki berbagai kelemahan seperti:

1)
Tidak sepenuhnya mengikuti mekanisme dan prosedur yang telah ada dan masih bersifat ad hoc;
2)
Partisipasi masyarakat maupun pelembagaan masyarakat cenderung bersifat mobilisasi;
3)
Keterlibatan pemerintah daerah masih kurang (ego sektoral)
4)
Ketergantungan terhadap bantuan teknis dari konsultan masih besar;
5)
Keterpaduan program pembangunan sejenis masih bersifat lemah baik dari segi dana, waktu, dan mekanisme pengelolaan.

Dari pertimbangan keunggulan dan kelemahan tersebut maka Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai cikal bakal PNPM Mandiri Perdesaan berupaya untuk menjawab persoalan mendasar dari masyarakat, yaitu menyediakan lapangan kerja bagi rakyat miskin (mengatasi masalah pengangguran) dan sekaligus menambah penghasilan bagi kelompok rakyat miskin (penanggulangan kemiskinan). Dari karakteristik program, kegiatan yang dipilih oleh penduduk di desa atau kecamatan yang terpilih umumnya adalah pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur diharapkan pula akan memberikan dampak multiplier yang lebih besar dengan menurunkan biaya transaksi dan pemasaran sehingga memungkinkan kesempatan berusaha yang lebih luas dan penurunan biaya hidup.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan secara independen menunjukkan program ini telah teruji, baik dilihat dari pencapaian tujuannya maupun efisiensinya. Sebagai contoh, penghematan dari program-program ini mencapai rata-rata 56%. Artinya jika suatu proyek yang dibangun dengan program ini berhasil menekan biaya sebesar 56% dibandingkan dengan program serupa yang dibangun oleh pemerintah. Hasil audit auditor independen menyatakan penyimpangan dana yang ditemukan kurang dari 1%.

Dampak eksternalitas (tambahan) kedua program ini relatif besar. Misalnya dari hasil evaluasi secara independen, karena program ini bersifat open menu (memiliki kebebasan memilih) yang benar-benar dipilih dan dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga program ini merupakan salah satu implementasi langsung proses perencanaan bottom-up. Di beberapa kabupaten, model PPK telah diadopsi dalam pembuatan perencanaan di tingkat kabupaten. Transparansi dan Pelibatan Masyarakat sejak perencanaan hingga pelaksanaan juga telah menumbuhkan modal sosial dan sekaligus mengurangi konflik-konflik yang terjadi di akar rumput dan merupakan modal baru bagi terciptanya integrasi bangsa. Disamping itu, program ini telah dijadikan salah satu model penanggulangan kemiskinan. Tidak kurang dari 30 negara termasuk Cina telah mengunjungi dan mengaplikasikan program serupa dengan menggunakan pola PPK sebagai model pembangunan partisipatif.

G.             PEMECAHAN MASALAH (SOLUSI)
Untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, perlu dibuatkan berbagai program: Pertama merubah cara berpikir, baik merubah cara berpikir orang miskin dan pengangguran, maupun cara berpikir orang kaya dan pemerintah.

Cara merubah pola berpikir orang miskin:
1.     Bahwa Kemiskinan dan pengangguran bukanlah taktir yang harus diterima dan ditelan mentah-mentah.
2.     Bahwa Kemiskinan dan pengangguran adalah Aib (Hal yang memalukan) yang harus disingkirkan dan dijauhkan.
3.     Bahwa kemiskinan dan penganguran adalah penjajah yang harus diperangi dan dibasmi.
4.     Bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah penyakit yang harus diobati.
5.     Bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah penyakit yang dapat disembuhkan.
6.     Bahwa Tuhan sebagai pencipta menghendaki hambanya untuk menggunakan potensi yang ada dan tersedia agar terbebas dari kemiskinan dan pengangguran.
7.     Bahwa Tuhan mewajibkan bekerja keras dan memberi pahala kepada orang yang mau dan mampu bekerja keras.
8.     Bahwa Tuhan akan memberi siksa kepada orang yang malas didunia berupa kemiskianan dan pengangguran, sedang diakherat akan dimasukan kedalam neraka.
9.     Bahwa kemalasan adalah penyakit yang disebutkan dalam do’a (Nauju bika minal buhli wal kasali).

Cara merubah pola berpikir orang Kaya dan Pemerintah:
1.     Bahwa kemiskian dan pengangguran adalah musibah, dan orang kaya dan pemerintah berkewajiaban menolong orang yang terkena musibah.
2.     Bahwa cara menolong orang miskin dan pengangguran bukan dengan cara memberi ikan melainkan memberi kail dan menyediakan tempat memancingnya Imembina).
3.     Bahwa Orang miskin dan pengangguran adalah saudara yang tersisihkan oleh sistem yang ada, maka wajib bagi orang kaya dan pemerintah menolong mereka yang tergerus sistem.
4.     Bahwa menjadi orang kaya dan pemerintah (penguasa) adalah anugrah (nikmat)
5.     Bahwa Tuhan memerintahkan untuk sukur nikmat.
6.     Bahwa cara sukur nitmat adalah memberi kemudahan dan bimbingan kepada orang mikin dan pengangguran.
7.     Bahwa Tuhan mengancam orang yang tidak mensukuri nikmat dengan azab yang pedih.
8.     Bahwa janji Tuhan tidak pernah bohong.
9.     Bahwa menolong orang miskin dan pengangguran akan mendapat dua pahala, yaitu didunia dan diakherat.

Kedua melakukan pembinaan usaha, melalui DIKLAT kewirausahaan. Ketiga memberikan bantuan modal usaha adar orang miskin dan pengangguran dapat berusaha dan yang terakhir melakukan pembinaan usaha, agar usaha orang miskin dan pengangguran dapat berjalan sebagaimana mestinya.


H.               BIAYA YANG DIPERLUKAN

Untuk menyelenggarakan DIKLAT kewira usahaan per-satu kali kegiatan diperlukan biaya sebagai berikut:

RINCIAN ANGGARAN
PERKEGIATAN PELATIHAN

Nama Barang
Volume
Harga satuan
Jumlah
ATK
40 set
50.000
2000000
Kaos
40 set
30.000
1200000
Sertifikat
60
5000
300000
Konsumsi :


000
Snack
2 x 40 x 6 hari
5000
2400000
Makan
2 x 40 x 3 x 6
15.000
21600000
Dokumen tasi
1 set
1.000.000
1000000
Narasumber
6 orang ahli
2.000.000
12000000
Perlengkapan :


000
Sewa Gedung
1
1.000.000
1000000
Sound sistem
1
500.000
500000
Spanduk
5
200.000
1000000
Materi :


000
Manajemen Perubahan
40 set
25.000
1500000
Motivasi dan Minat usaha
40 set
25.000
1500000
Enterplanner Shif
40 set
Manajemen SDM
40 set
25.000
1500000
40 set
25.000
1500000
Administrasi Usaha
40 set
25.000
1500000
Uang Saku Peserta
40x6
30.000
7200000
Modal Usaha Pemula
40 orang
5.000.000
200000000
PPN 
38880000
BOP
25920000
Total Jumlah
324000000
Terbilang : Tiga ratus dua puluh empat juta  rupiah.

E. Penutup
Penyimpangan dan salah sasaran dan masih kuatnya mental KKN membuat program penanggulangan kemiskinan tidak pernah betul-betul mampu mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan strategi baru yang lebih mengedepankan partisipasi masyarakat. Tantangan ini yang harusnya dibenahi dengan melaksanakan tata pemerintahan yang baik di era otonomi daerah untuk mengurangi kemiskinan. Hal itu dicirikan oleh adanya transparansi dengan memberi masyarakat akses luas terhadap informasi publik. Untuk itu, partisipasi masyarakat termasuk dalam penyusunan program dan pengambilan keputusan, dan ciri berikutnya adalah akuntabilitas yang menjadikan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah daerah. Hasil dari seluruh ini disamping itu untuk mensejahterakan masyarakat terutama masyakat miskin sesuai dengan Amanat Pembukaan UUD 1945 dan komitmen internasional yang telah disepakati melalui Millenium Development Goals sebagai target yang hendaknya dicapai di tahun 2015.

Untuk itu, dengan adanya perubahan paradigma yang lebih mengedepankan fungsi pembangunan berfokus pada manusia diperlukan perubahan-perubahan mendasar, seperti masalah kebijakan, peraturan, dan akses masyarakat pada proses pengambilan keputusan. Sementara itu beberapa inisiatif dalam strategi penanggulangan kemiskinan dengan cara mendorong pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan melalui perumusan strategi penangulangan kemiskinan di daerah perlu didukung oleh mekanisme pendampingan yang tangguh dari berbagai pihak yang perhatian pada pembangunan manusia Indonesia.


Daftar Pustaka Makalah Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Dan Pengangguran Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Blog dengan ID 26250 Tidak ada
Ala, Andro Bayo, 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan, Yogyakarta, Liberty.
Arief, Saeful, 2000. Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Sumardjan, Selo, 1980. Kemiskinan Struktural dan Pembangunan Kata Pengantar dalam Alfian (at. Al), Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai, Jakarta, YIIS.
Suwondo, Kutu, 1998. Struktur Sosial dan Kemiskinan, Slatiga, Yayasan Bina Dharma.
Salim, Emil, 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Jakarta, Inti Idayu Press.
Soetrino, R, 2001. Pemberdayaan masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan, Yogyakarta, Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar